twitter


Paling seneng kalau masak oseng oncom gak habis (?!). Tinggal disimpan di lemari pendingin, besoknya jadi sarapan spesial: nasi tutug oncom. Tinggal dicarikan "teman"-nya, bis telur ceplok atau goreng ayam.

Caranya: tumis bawang putih cincang, masukin oseng oncom dan nasi dengan perbandingan 2:1. Acak selama 3 menit, masukkan telur ayam atau bebek. Aduk sampai rata.

Masak di atas api sedang sekitar 10 menit sampai sedikit kering. Angkat. Siap deh!

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Jalan-jalan dengan Mbak Rayem dan anaknya, Harini, ke Mal dekat rumah. Si Kakak pulang sore, ada kegiatan di sekolah. Si Adek, yang bercita-cita jadi pemain Timnas, ikut Olompiade Olah Raga se-Banten di Cilegon. Emaknya "merdeka"!

Rencana awalnya sih ambil e-KTP terus baru jalan-jalan, tapi batal. Agak heroik, karena baru separo jalan, hujan petir mengguyur. Lari tunggang langgang berteduk di halaman rumah orang. Untunglah, saya tinggal di kompleks yang berbatasan langsung dengan perkampungan warga, yang friendly dan tanpa pagar keliling. Saya berteduh di bale-bale rumah seorang ibu Betawi asli. Ditawari masuk, tapi kami memilih tetap berada di depan rumah, menikmati rinai hujan. Ketawa-ketawa saat kilat petir, kami berlaku seolah-olah sedang difoto dengan kamera raksasa. Hahahaha...

Begitu hujan reda, kami melanjutkan jalan kaki ke jalan utama. Tujuannya, mencegat angkot yang melewati jalur depan mal.

Dalam angkot. Walau hujan, gerah juga. Akhirnya Harini pindah ke depan pintu, dekat mamanya.Padahal tadinya sudah dapat posisi pe-we di pojok kanan





Lapar kan? Makan dolo di resto favorit yang ciri khasnya tampilan inteririornya berwarna ungu itu. Menu favorit kami di sini: kwetiauw goreng sapi. Tapi Mbak Rayem memilih menu beda, Mie Ayam. "Yang pedas, buat obat sariawan," ujarnya.

Harini mampir ke toko aksesori. Girly pisan, ini bocah. Langsung mencari sesuatu yang pinky-pinky.

Pinky? Wait! Saya memilihkan aksesori yang berbeda, hijau. Jadilah bando ijo dipilihnya. Ini foto yang sama yang saya tunjukkan padanya, sebagai "barang bukti" bahwa hijau juga cantik. Lihatlah senyumnya langsung mengambang! Jepit pink dan bando hijau, itulah akhirnya yang dipilihnya.Habis itu, Mbak Rayem mencari sandal.

Acara hang out diakhiri dengan....belanja! Saya dan Harini sama-sama centil, kata Mbak Rayem. Apa pasal? Kami berdua membeli wadah-wadah plastik aneka warna yang belum tahu mau dipakai buat apa....he...he...> Bentuknya lucu sih. Seapes-apesnya, bisa buat bikin puding, lalu dicemplungin ke tas para cindil buat bekal ke sekolahnya.





Foto dicomot dari  http://www.cuorhome.net/heart-images/shopping/buy-handmade/dd caption
Lega...setelah memutuskan untuk mengembalikan satu dari dua 'orderan' dari seseorang yang saya duga tak mengetahui cara menghargai handmade.

Ceritanya, seorang ibu menghubungi saya via Facebook, karena tertarik dengan salah satu kreasi saya. dalam foto yang dia taksir, saya menghias baju batsleeve dari kain sutra Thailand (koleksi saya sebelum insyaf berbangga membeli produk impor) dengan edging rajutan. Sebelum blio, saya sudah mengerjakan sekitar 15 sampai 20 pesanan, dengan motif edging yang berbeda. Aman-aman saja. Saya puas karena mereka puas dan mengirimkan foto mereka bergaya dengan baju buatan saya.

Ternyata oh ternyata, sang ibu tinggal tak jauh dari rumah saya. "Saya antar sendiri aja," ujarnya, setelah tahu kami tinggal di kompleks yang sama.

Dia membawa sendiri dua baju dari bahan organdi, dan minta diberi edging rajutan. Gaun pesta. Warnanya tak pasaran. Bisa dipastikan, harganya di atas Rp 50 ribu (bawang merah sekilo masih di atas itu).

Begitu ada di tangan saya, hari-hari saya serasa 'diintimidasi'. Beberapa hari sekali, blio mengecek apakah sudah digarap atau belum, padahal sebelumnya saya sudah menegaskan antrean masih panjang, karena saya mengerjakan semua sendiri, dengan tangan dan jemari lentik (ngaku-ngaku lagi, he he) saya.

Akhirnya, selesailah satu, dan sayapun 'melaporkan'-nya. Blio minta perincian 'ongkos'-nya (jadi inget, suka baca tulisan "terima ongkos bubut", apa maksudnya ya?). Saya pun merinci: karena kainnya bagus, tentu akan kebanting kalau saya menggunakan benang katun bali yang ukurannya agak gendut dibanding serat kainnya. Maka saya pilih menggunakan katun halus yang harga pergulungnya Rp 25 ribu (tempo hari waktu beli benang yang sama di toko craft di Living World Alam Sutra  pergulung harganya malah Rp 85 ribu). Sesuai saran beberapa parajut profesional tentang penentuan harga,   saya menganut paham yang untuk satu gulung benang saya memasang ongkos Rp 35 ribu. Jadilah perbaju Rp 60 ribu, dan dua baju Rp 120 ribu.

"Dilempengin aja ya Mbak, jadi Rp 100 ribu," ujar ibu jelita bak pragawati itu. Gedubrag, gerobag! Cetar membahana badai sebenar-benarnya badai!

Karena dia menelepon selalu, saya berasumsi dia hendak buru-buru mengenakannya, maka saya mendahulukannya dari yang lain. Saya menggarap ending sepanjang 6 meter dari baju model "Syahrini" itu secara maraton sejak pukul 17.00 sampai mundur pukul 02.00 hanya demi bisa dipakai blio buat kondangan hari ini. Saya juga memilihkan motif rajut yang pas, demi mendukung kesan "wah" baju itu.

Dan kini, blio menawar karya saya itu lebih murah dari sekilo bawang?

Baik, mari kita bersikap. Mari kita packing dengan apik dan masukkan ke tas yang juga apik. Mari kita antar ke rumahnya dengan cara yang apik (bojo tercinta segera men-starter si Putih untuk mengantarkan istrinya si 'tukang' jahit dan rajut ini :D ), bukan diambil seperti mau blio. Mari kita serahkan dengan cara yang apik. Semuanya, dua baju.

Saya tak sanggup mengerjakan baju yang satunya, yang sudah saya pesankan benang viscose dari Surabaya, di toko online langganan saya. Saya memilih mengembalikan. Bukan karena saya tak mampu, tapi saya tak sanggup. Saya bukan tukangnya, dan bukan tukang sayur langganannya. Saya tak pernah tawar-menawar dengan karya saya, karena semua saya pikir sudah saya beri harga secara sepadan.

Ketika blio menawarkan "ongkos", saya menolak dan hanya bilang, "Jika sempat, transfer saja ke rekening saya, ibu. Kapan sesempatnya ibu saja."

Sekian, dan terima orderan kasih :D






Mbak Rayem perempuan perkasa. Dia menjadi mitra sejajar Pendi, suaminya, yang berprofesi sebagai handyman. Dua belas tahun mereka mengarungi biduk rumah tangga berdua.

Mengapa dia perempuan perkasa? Tak perlu berkoar tentang emansipasi, dia pejuang emansipasi sejati. Saat suaminya banting tulang mencari uang untuk menafkahi keluarga, dia tak tinggal diam. Dia menjadi pekerja rumah tangga penuh waktu delapan jam sehari (di rumah saya, sodara) dan part time di sebuah keluarga lainnya.

Bersama suaminya, dia berbagi peran. Ketika pagi dia meninggalkan rumah sebelum sempat membuat sarapan pagi, maka suaminya yang akan menyiapkannya. Begitu juga malam hari ketika saya telat pulang dan dia terpaksa kerja lembur menunggui anak-anak saya. (Kerja lembur = kerja di luar jam dia seharusnya. Kompensasinya, saya harus memberinya uang lembur).

Seharian di rumah kemarin, saya menjadi bak wartawan infotainment yang menguntit aktivitas sang idola seharian. Berikut ini laporan saiyah untuk pemirsah semua:

Pukul 07.00

Membuka pintu depan dengan kunci cadangan, bergegas ke belakang. Pagi ini dia memasak bakwan, sayur labu dan ikan. "Kopi di luar, bu!" teriaknya. Secepat kilat dia sudah menghilang saat saya mengambil kopi racikannya yang rasanya bak kopi bikinan barista ternama. Kemana dia? Pergi ke rumah satunya, tempat dia kerja part time, untuk hanya mencuci dan menyetrika, serta beres-beres rumah.

Pukul 09.30

"Bu, cucian kotor tolong dikeluarkan," ujarnya dari balik pintu kamar. Saya, yang sedang asyik merekap pesanan dari olshop saya, kaget, karena tak mendengar kapan dia masuk rumah. Asal tahu saja (pamer?) pintu depan saya pasang miniatur lonceng pedati, sehingga saat pintu dibuka dan ditutup, gemerincing lonceng nyaring terdengar (kayak di warung-warung Amrik di film Hollywood tempo doeloe). "Masuk aja Mbak. Ayah udah berangkat kok," kata saya. Dia masuk, sambil menceritakan hal-hal yang terjadi kemarin: tentang suaminya, Harini, dan tentang tukang sayur yang dia duga salah pasang harga. "Mosok labu satu tiga rebu," ujarnya.

Pukul 11.00

Sudah menyelesaikan acara cuci-mencuci dan mengepel lantai. Juga membereskan rumah yang tadinya bak kapal pecah menjadi rapi jali. "Menyetrika besok aja, sekalian ya bu," ujarnya. Sebelum pamit pulang untuk menyambut anaknya pulang sekolah.

Saya memintanya nanti jam 13.00 bersiap-siap di depan rumah kontrakannya. "Mau kemana?" tanyanya.

"Kita jalan. Namanya refreshing. Biar pikiran terang," ujar saya sekenanya.

"Hayuk. Biar sariawan di lidah segunung, kalau acaranya jalan-jalan mah, hayuk bae," katanya bersemangat. Saya ikut bersemangat. Horee....ini yang namanya girls outing sodara!

Pukul 13.00

Hang out bersama Harini dan saya ke mal terdekat. Sekalian mengirim paket-paket pesanan. Yang ini saya ceritakan besok ya, asyik soalnya!


Pukul 17.00

"Astaga, Ibu! Ngamuk atau bagaimana? Kamar sudah diberesin berantakan lagi!" ujarnya. Saya nyengir saja. Kalap menyelesaikan pesanan yang harus kirim sore ini, membuat seluruh peralatan tempur turun main. Berantakan!

"Mbak dilarang masuk," giliran saya setengah teriak pula, sambil ngakak. Di luar Mbak Rayem masih ngomel-ceria (alias bukan ngomel betulan), "Ibu kerjanya cuma berantakin aja. Ngerjain saya nih, ibu."

Saya membereskan, sambil bilang, "Pokoknya hari ini aku beresin Mbak. Kalau besok masih ada yang berantakan, itu sengaja. Biar Mbak Rayem ada bahan ngomel besok." Haha...jailin doi.

Pukul 17.30

Berkemas pulang. "Cabut rumput belakang besok saja, akhir pekan," katanya. Aku mengiyakan saja. Akhir pekan, artinya dia akan mengerahkan para sohibnya yang mengontrak rumah petak milik orang yang sama. Setelah itu, biasanya mereka akan bersama-sama ke pasar kaget di dekat rumah, menghabiskan uang tips cabut rumput untuk "wisata kuliner" bersama.

Mbak Rayem, perempuan perkasa itu, sebenarnya adalah guru saya: dia mengajarkan saya untuk menjalani hidup apa adanya. Bahwa bahagia bisa diraih dengan cara-cara yang sederhana.


Di antara semua batik, mana yang Anda suka? Kalau saya, sogan. Klasik, antik. Tak lekang oleh waktu (lebay). Maksud saya, motif batik kontemporer boleh datang dan pergi, tapi sogan tetap abadi.

Motif parang yang paling saya suka. Parang rusak apalagi. Walau namanya "rusak", tapi wujudnya sungguh ciamik.Di foto di atas, nomor tiga dari atas (kiri) dan nomor dua dari atas (kanan).

Sogan bisa diadu dengan warna apa saja. Dia berteman akrab dengan hitam dan putih, juga coklat. Tapi saya juga pernah menabrakkannya dengan warna gonjreng, merah darah, dan membuat saya hari itu merasa menjadi wanita tercantik di seluruh jagat raya tanpa harus tanya sama mirror mirror on the wall. (Cuek wee sekali-kali sama bojo tercintah yang melotot-melotot karena benci warna merah. Huahahahahuahahaha *ngakak setan*).

Tapi kenapa jadi harus pamer sogan di sinih?!

Ini gara-gara menjelang tengah malam ada yang menanyakan koleksi sogan dan berniat membeli. Jadi saya foto. Daripada cuma dicemplungin ke fesbuk, ya cemplungin juga ke sini...*meringis keledai*

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Kangen ngulik benang untuk bikin non baju. Yang cepet, ya bikin inih :)

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Jawabannya, belum dulu he..he..

Ini jawaban untuk postingan saya yang ini. Ibu pemesan sudah menerima pesanan yang saya buat dengan pola tanpa teori. Blio bilang sih pas, enak dipakai. Bahkan memesan satu lagi dengan ukuran yang sama untuk model yang berbeda.

Belum dulu kursus, bukan berarti tak ingin kursus, ya. Tetap menyimpan ingin. Tapi mencari waktu yang pas. Mungkin, mengintip isi kantong juga, belum tahun ini. Decak-decak aja telepon beberapa tempat kursus, biayanya di atas Rp 6 juta.

Ini sih, sedikit catatan sebagai seorang otodidaker:

* Eksplor aneka sumber, teori dan taktik menjahit. Di era dot.com saat ini, kursus jahit gratis bertebaran di jagat maya.  Tentu saja, asal rajin browing dan mempraktikkannya. Percuma mengumpulkan banyak bahan ajar, tapi tak jua mempraktikkan.

* Jangan sungkan untuk bertanya pada senior. Saya kerap menimba ilmu secara tak langsung pada penjahit-penjahit di beberapa pasar di Jakarta dan penjahit langganan suami. Salah satunya: jangan pelit menggunakan setrika kalau ingin jahitan rapi. Jadi untuk sambungan belakang, misalnya, segera disetrika begitu disatukan. Lebih kelihatan rapi dan manis. juga pas kalau disambungkan dengan bagian depannya.

* Jangan segera buang baju yang aus tapi enak dipakai. Buka jahitannya, setrika, lalu jiplak di atas koran. Jadi deh, pola baju nyaman.

Foto diambil dari: FashionEra.com






Apakah menjahit itu bakat, atau keterampilan yang bisa dipelajari, atau diturunkan secara genetik (rada ngawur inih)?

 Semula, saya menduga diturunkan secara genetik. Berdasar wawancara singkat dengan ibu, mbah putri, dan cerita mbah putri tentang ibu dan nenek blio, mereka mengaku tak pernah belajar menjahit. Otodidak. Mbah memang pernah mendapat ilmu itu di Sekolah Kartini (Sekolah Keputrian), tapi jauh sebelum itu, blio sudah mahir membuat kutang sendiri begitu memasuki usia baligh. Saya dapat ilmu mengoreksi beberapa kesalahan jahit dari blio.

Namun, teori itu tumbang ketika Indah, adik saya tercinta, sangat lugu (bin culun) berhadapan dengan jarum dan benang. Jangankan membuat baju, men-soom baju anaknya yang kelimannya lepas saja yang keluar adalah jurus tusuk jelujur. Walhasil,  jadilah jejak mirip separator jalan nemplok di baju. Kalau sepersekian gen jahit diturunkan, tak usahlah bikin baju Cinderella, paling gak masang kancing pasti bisalah. Ini boro-boro.

Maka, teori kebisaan (?) menjahit adalah diturunkan secara genetik secara otomatis tumbang dengan fakta ini.

Kini, tinggal dua teori tentang jahit yang saya yakini benar: otodidak, dan keterampilan yang bisa dipelajari. Teman saya (tak usah sebut nama ya?) jebolan perguruan tinggi ternama dengan indeks prestasi mendekati cum-laude (malangnya: dia sekantor dengan saya yang lulus dengan nilai ala kadarnya!) tiba-tiba punya keinginan gila: kursus menjahit. Padahal, jangankan berkencan dengan mesin jahit, bahwa jarum mesin dan jarum tangan itu beda saja dia baru tahu belakangan di tempat kursusnya.

Dari yang paling dasar, kini dia sudah piawai bikin baju, celana, dan piyama untuk suaminya. Bahkan makin hari makin menggila: menguasai aneka ilmu pecah pola. Ck ck ck!

Saya sampai terkagum-kagum dan ngiler ingin ikut kursus pula. Selama ini, saya menguasai ilmu perjahitan (what?!) secara otodidak. Tepatnya sejak kelas 5 SD, saat ibu menghadiahi Siti Nurbaya. Pecah pola, dilakukan secara trial and error. (Jadi ingat: ilmu membuat kantong bobok didapat atas kerja sama dengan kakak lelaki saya yang jago matematika dan jago menjahit.  Kami merancang pola dan dia mengukur dengan ukuran yang teliti dan cermat dengan penggaris dan busur. "Beda 2 mili, beda hasilnya," sabdanya. Saya manggut-manggut saja, percaya).

Lalu kenapa tiba-tiba ingin kursus? Panjang ceritanya. Tepatnya sejak membuka lapak di Etsy dan lalu Facebook. Makin meruncing setelah seorang pelanggan baru yang 'berbobot' memesan baju ukuran XXXL.

Curcol dikit: saya tak tega menolak kesungguhannya memesan. Lebih dari itu, saya merasa terhormat blio berkenan memesan karya saya. Akhirnya saya sanggupi. Pola saya modifikasi sendiri tanpa ukuran pasti, hanya berpatokan pada lebar pundak, lingkar dada, pinggang, dan panggul yang dia berikan. Saya tak bisa membuat pola sesuai teori-teori yang diberikan di kursus jahit, jadi, saya buat dengan dasar pola ukuran saya, yang juga dibuat secara asal (tapi enak dipakai lho).

Jadi, besok adalah pertaruhannya. Kalau setelah baju terkirim dan dia cocok, artinya penjahit otodidak ini harus mikir ulang ikut kursus atau tidak. Tapi kalau ternyata blio tak puas dengan hasilnya, maka tak ada tawar-menawar: KUDU MENDAFTAR KURSUS SEGERA!!!!!!!!

 Menyulap ukuran L jadi XXXL