twitter



Aku memang bukan darah dagingmu, emak, tapi aku tak pernah menyangsikan sayangmu. Enam belas tahun kau selalu ada untukku, bahkan ketika kesehatanmu berada di titik terendah. Selamat jalan, Ma'e, Allah menjagamu. (Pekalongan, 10 Desember 2013, pukul 02.17)



Materi benang katun
iDR 70.000
Ready Stock



Sent from Samsung tablet




Fit to M/L
Panjang 95 cm
Material: batik tulis Madura kain santyu, benang katun.
Harga: IDR 200 k



Sent from Samsung tablet



Prakarya akhir pekan: menyulap bekas kemasan bumbu spageti jadi gelas "infus" buah. (1) Direndam biar label gampang dilepas (2) disikat dengan parutan keju, jadilah wadah beling tanpa label (3) Masukkan irisan stroberi, apel, belimbing, daun mint, dan perasan jeruk nipis, lalu tambahkan air putih. Tutup, masukkan lemari pendingin. Sueger diminum pas hari terik, sambil merajut temtu sajah.... 



Sent from Samsung tablet



Ini very late posting. Ditulis 8 November lalu, di sudut hotel bergaya oriental di Jalan Besar, Lavender, Singapura, usai menonton anak lanang berlaga:

Indonesia...Bisa, bisa, bisa! Teriak bocah 12 tahun berseragam bola, berangkulan dalam lingkaran. Dua menit ke depan, mereka akan berlaga dengan tim F-17 Singapura, tim sepakbola kelompok usia sama yang dibina veteran pemain bola kebanggaan Singapura, Fandi Ahmad.

Dari segi postur tubuh, jomplang. Tim satunya 'kate' alias badannya kecil-kecil, tim lawan bongsor betul. Teriakan 'tempe' sempat terdengar di antara penonton setempat. Ketika beberapa mempertanyakan, karena mencurigai ada dua pemain yang mulai berkumis -- anak usia 12 tahun tentu belum tumbuh kumis -- mereka dengan enteng menjawab, "Kami makan daging sapi tiap hari."

Untuk datang ke Singapura, jalan berliku dilalui. Mereka, menamakan diri Putra Tangsel Indonesia, bukan berasal dari klub sepakbola mapan. Hanya kumpulan beberapa sekolah sepakbola kampung, yang mengakomodasi semangat main bola anak-anak kampung. Profesi orang tua mereka beragam, mulai dari pilot, wartawan, pedagang di pasar tradisional hingga tukang ojek, tukang cuci yang single parent, dan buruh bangunan.

sedikit catatan: beda dengan sekolah sepakbola mapan yang bayarannya nyaris sama dengan sekolah formal internasional, iuran bulanan mereka sekadarnya. Dulu Rp 25 ribu, belakangan baru naik menjadi Rp 45 ribu. Bayar semua? Tidak. Honor pelatih juga dibayar kadang-kadang.

Namun tekad para pelatihnya satu: memberi pengalaman anak-anak bertanding di tingkat regional Asia. Piala dan medali dari turnamen dalam negeri, beberapa kali mereka kantongi.

Maka diputuskan: menerima undangan dari Panitia Singa Cup 2013 di Singapura. Bukan turnamen bergengsi, namun rutin diadakan tiap tahun, diikuti klub-klub dari lima negara. Indonesia mengirim empat tim, yang saya ingat hanya satu klub dari Bontang dan Javan Hawk yang rutin berlatih di Senayan.

Sedikit kabar menggembirakan: ada bantuan dari pejabat Tangsel yang suaminya kini tersandung kasus di KPK, namun belakangan diketahui tak seberapa nilainya. Tak cukup untuk memberangkatkan 16 pemain dengan empat pelatih. Maka, diputuskan subsidi silang.

Keluarga yang mampu, mengongkosi sendiri anak mereka, Sedang pemain dari keluarga kurang mampu, sebagian di-cover dari sumbangan sang pejabat. Ketika seorang pelatih gagal berangkat karena tak memiliki uang untuk membeli tiket -- pemain dan pelatih sama-sama merogoh kocek sendiri -- mereka kembali saweran. Terharu ketika melepas mereka ke bandara; berdoa bersama, melambaikan tangan pada orang tua mereka yang datang berombongan bak hendak mengantar handai taulan berhaji ke Tanah Suci.

Kabar ke Tanah Air diupdate melalui SMS, yang kemudian disebar antar orang tua. Di babak penyisihan, mereka mengalahkan tim Football West Australia. Namun di semi final, digulung tim Bontang.

Maka di Stadium The Cage Sports Park, Bukit Timah, mereka berhadapan dengan tim F-17 yang 'tiap hari makan daging sapi' itu untuk memperebutkan posisi ketiga. Anak-anak kate ini sempat keder, namun teriakan "Indonesia bisa!" terus bergema. Semangat mereka terbakar. Ketika peluit tanda berakhirnya pertandingan berbunyi, anak tempe unggul 3-2.

Sekali lagi, mungkin bukan turnamen bergengsi, namun cukup membuat saya dan kami para orang tua bahagia. Melihat semangat mereka, kami bangga: Indonesia masih ada di hati mereka, anak-anak penerus bangsa.

*setelah penerimaan medali, tim Australia yang masih penasaran mengajak tim U-12 uji tanding, dan sekali lagi anak-anak kita menang. Lucu ketika melihat mereka saling bertukar kaus yang saya sendiri mual mencium baunya: seragam mereka hanya satu, dan dipakai sejak hari pertama tanding seminggu lalu!

Sent from Samsung tablet





Rasanya baru kemarin ya Is, aku pinjam pensilmu saat sama-sama berjuang masuk ke universitas para 'jenderal' itu (hal yang membuat kita tertawa bersama, karena ternyata diterima di jurusan yang sama dan nomor absen kita berurutan pula). 


Rasanya baru kemarin kau menamparku karena kuliah sekenanya, sementara teman-teman satu persatu sudah mengajukan judul dan kemudian menyelesaikan skripsinya (Ingat kan Is, lepas senja kita menerobos hujan hanya demi mengejar ACC agar bisa ikut sidang keesokan harinya; menggedor rumah bu Suci, digonggong anjing di rumah bu Tati, mendorong motor CB yang tiba-tiba mesinnya mati). 


Seperti baru kemarin kau memakiku habis-habisan karena salah membaca jadwal pendadaran, yang membuat dekan murka dan aku nyaris tak bisa lulus di tahun yang sama. Kau sibuk melobi pejabat TU agar dijadwal ulang sementara aku mendatangi satu persatu dosen penguji meminta ampunan. Selamat jalan, Is, sahabat yang hebat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan mensejahterakanmu di surga-Nya. Aamiin.

Sent from Samsung tablet







Sent from Samsung tablet




huk..huk...itu saya *nyengir keledai*

Apa yang dipamerkan? Hadiah tablet impian dari suami tersayang.

Dia memilihkan yang bisa dicorat-caret biar lebih gampang berdiskusi dengan pelanggan mengenai model baju pesanan. Juga membuat pola, mengingat untuk urusan visual, istri suami saya (alias: saya)  miskin betul.

Gambar di atas, adalah  contoh "kesaktian" tablet baru saya. (Sesuai judul: mau pamer he he).





Kebutuhan:
- Benang rayon alus berat @ 100 gr 2 gulung, atau benang mabel 2,5 gulung
-Haken nomor 2 atau 3

Waktu pengerjaan: 3 hari atau 7 hari jika disela dengan pekerjaan lain.

Pola motif ini   Rp 15.000   Rp 10.000

Catatan:
Anda akan mendapatkan pola crochet dengan simbol gambar (model Jepang) plus bonus pola bros, akan dikirim by email. Keterangan lebih lanjut silakan tinggalkan pesan ke email siwi12510@yahoo.com atau Whatsapp/line 083894533115


Menemukan 'kartu pers' Kakak saat menjadi wartawan di Kidzania beberapa tahun lalu, mengingatkan saya pada obrolan dengan Pak Lurah di desa tempat saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) hampir 20 tahun lalu. Zaman saya kuliah, KKN menjadi syarat wajib biar bisa menyandang gelar sarjana.

Empat tahun setelah KKN, kami berlima yang sama-sama sudah lulus dan bekerja di berbagai kota, sepakat untuk bereuni di desa KKN dulu yang letaknya nun jauh dari kota, berbatasan dengan hutan di Kecamatan Karang Anyar, Purbalingga. Haris batal ikut, karena ada meeting dengan klien potensial perusahaannya.

Pak Lurah: kalian sekarang dines dimana?(Dines is from a word: dinas. Kerja dalam bahasa sono).

Lenny: (saat itu menjadi dealer valas termuda di bank swasta ternama di Jakarta) di bank, pak. (Pak Lurah segera acung jempol).

Sigit: (juga bekerja di kantor pusat sebuah bank BUMN) saya juga di bank.

(Pak lurah terlihat mengangguk-angguk dengan wajah sumringah. Tampak betul blio sangat bahagia)

Ketut: (yang memang dari dulu bercita-cita bekerja di kapal pesiar asing, menjawab mantap: ) di kapal pesiar Itali, Pak.

Saya: (ketimbang ribet menjelaskan bahwa saya bekerja sebagai wartawan di sebuah media nasional, yang kerjaannya memburu dan menembus nara sumber seharian hanya untuk membuat tulisan 3.500 karakter,  menyederhanakan kalimat dengan: ) saya bekerja di koran, Pak Lurah.

Pak lurah: dengan tatapan prihatin tajam ke arah mata saya, menjawab tak kalah mantap, "Tak apa-apa Nak Siwi, yang penting halal!"

Kami semua mesem-mesem mendengarnya. Sejak itu, ketiga teman saya ini selalu terbahak bila mengingat percakapan ini. Tentang pak Lurah yang prihatin "anak"-nya jadi penjual koran di lampu merah jakarta.

Namun seperti kata blio, apapun pekerjaan adalah mulia, yang penting halal. Percuma jadi menteri, petinggi partai, atau pengusaha kaya raya, tapi diperoleh dengan cara tak halal, aka K-O-R-U-P-S-I. Betul tidak?

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Paling seneng kalau masak oseng oncom gak habis (?!). Tinggal disimpan di lemari pendingin, besoknya jadi sarapan spesial: nasi tutug oncom. Tinggal dicarikan "teman"-nya, bis telur ceplok atau goreng ayam.

Caranya: tumis bawang putih cincang, masukin oseng oncom dan nasi dengan perbandingan 2:1. Acak selama 3 menit, masukkan telur ayam atau bebek. Aduk sampai rata.

Masak di atas api sedang sekitar 10 menit sampai sedikit kering. Angkat. Siap deh!

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Jalan-jalan dengan Mbak Rayem dan anaknya, Harini, ke Mal dekat rumah. Si Kakak pulang sore, ada kegiatan di sekolah. Si Adek, yang bercita-cita jadi pemain Timnas, ikut Olompiade Olah Raga se-Banten di Cilegon. Emaknya "merdeka"!

Rencana awalnya sih ambil e-KTP terus baru jalan-jalan, tapi batal. Agak heroik, karena baru separo jalan, hujan petir mengguyur. Lari tunggang langgang berteduk di halaman rumah orang. Untunglah, saya tinggal di kompleks yang berbatasan langsung dengan perkampungan warga, yang friendly dan tanpa pagar keliling. Saya berteduh di bale-bale rumah seorang ibu Betawi asli. Ditawari masuk, tapi kami memilih tetap berada di depan rumah, menikmati rinai hujan. Ketawa-ketawa saat kilat petir, kami berlaku seolah-olah sedang difoto dengan kamera raksasa. Hahahaha...

Begitu hujan reda, kami melanjutkan jalan kaki ke jalan utama. Tujuannya, mencegat angkot yang melewati jalur depan mal.

Dalam angkot. Walau hujan, gerah juga. Akhirnya Harini pindah ke depan pintu, dekat mamanya.Padahal tadinya sudah dapat posisi pe-we di pojok kanan





Lapar kan? Makan dolo di resto favorit yang ciri khasnya tampilan inteririornya berwarna ungu itu. Menu favorit kami di sini: kwetiauw goreng sapi. Tapi Mbak Rayem memilih menu beda, Mie Ayam. "Yang pedas, buat obat sariawan," ujarnya.

Harini mampir ke toko aksesori. Girly pisan, ini bocah. Langsung mencari sesuatu yang pinky-pinky.

Pinky? Wait! Saya memilihkan aksesori yang berbeda, hijau. Jadilah bando ijo dipilihnya. Ini foto yang sama yang saya tunjukkan padanya, sebagai "barang bukti" bahwa hijau juga cantik. Lihatlah senyumnya langsung mengambang! Jepit pink dan bando hijau, itulah akhirnya yang dipilihnya.Habis itu, Mbak Rayem mencari sandal.

Acara hang out diakhiri dengan....belanja! Saya dan Harini sama-sama centil, kata Mbak Rayem. Apa pasal? Kami berdua membeli wadah-wadah plastik aneka warna yang belum tahu mau dipakai buat apa....he...he...> Bentuknya lucu sih. Seapes-apesnya, bisa buat bikin puding, lalu dicemplungin ke tas para cindil buat bekal ke sekolahnya.





Foto dicomot dari  http://www.cuorhome.net/heart-images/shopping/buy-handmade/dd caption
Lega...setelah memutuskan untuk mengembalikan satu dari dua 'orderan' dari seseorang yang saya duga tak mengetahui cara menghargai handmade.

Ceritanya, seorang ibu menghubungi saya via Facebook, karena tertarik dengan salah satu kreasi saya. dalam foto yang dia taksir, saya menghias baju batsleeve dari kain sutra Thailand (koleksi saya sebelum insyaf berbangga membeli produk impor) dengan edging rajutan. Sebelum blio, saya sudah mengerjakan sekitar 15 sampai 20 pesanan, dengan motif edging yang berbeda. Aman-aman saja. Saya puas karena mereka puas dan mengirimkan foto mereka bergaya dengan baju buatan saya.

Ternyata oh ternyata, sang ibu tinggal tak jauh dari rumah saya. "Saya antar sendiri aja," ujarnya, setelah tahu kami tinggal di kompleks yang sama.

Dia membawa sendiri dua baju dari bahan organdi, dan minta diberi edging rajutan. Gaun pesta. Warnanya tak pasaran. Bisa dipastikan, harganya di atas Rp 50 ribu (bawang merah sekilo masih di atas itu).

Begitu ada di tangan saya, hari-hari saya serasa 'diintimidasi'. Beberapa hari sekali, blio mengecek apakah sudah digarap atau belum, padahal sebelumnya saya sudah menegaskan antrean masih panjang, karena saya mengerjakan semua sendiri, dengan tangan dan jemari lentik (ngaku-ngaku lagi, he he) saya.

Akhirnya, selesailah satu, dan sayapun 'melaporkan'-nya. Blio minta perincian 'ongkos'-nya (jadi inget, suka baca tulisan "terima ongkos bubut", apa maksudnya ya?). Saya pun merinci: karena kainnya bagus, tentu akan kebanting kalau saya menggunakan benang katun bali yang ukurannya agak gendut dibanding serat kainnya. Maka saya pilih menggunakan katun halus yang harga pergulungnya Rp 25 ribu (tempo hari waktu beli benang yang sama di toko craft di Living World Alam Sutra  pergulung harganya malah Rp 85 ribu). Sesuai saran beberapa parajut profesional tentang penentuan harga,   saya menganut paham yang untuk satu gulung benang saya memasang ongkos Rp 35 ribu. Jadilah perbaju Rp 60 ribu, dan dua baju Rp 120 ribu.

"Dilempengin aja ya Mbak, jadi Rp 100 ribu," ujar ibu jelita bak pragawati itu. Gedubrag, gerobag! Cetar membahana badai sebenar-benarnya badai!

Karena dia menelepon selalu, saya berasumsi dia hendak buru-buru mengenakannya, maka saya mendahulukannya dari yang lain. Saya menggarap ending sepanjang 6 meter dari baju model "Syahrini" itu secara maraton sejak pukul 17.00 sampai mundur pukul 02.00 hanya demi bisa dipakai blio buat kondangan hari ini. Saya juga memilihkan motif rajut yang pas, demi mendukung kesan "wah" baju itu.

Dan kini, blio menawar karya saya itu lebih murah dari sekilo bawang?

Baik, mari kita bersikap. Mari kita packing dengan apik dan masukkan ke tas yang juga apik. Mari kita antar ke rumahnya dengan cara yang apik (bojo tercinta segera men-starter si Putih untuk mengantarkan istrinya si 'tukang' jahit dan rajut ini :D ), bukan diambil seperti mau blio. Mari kita serahkan dengan cara yang apik. Semuanya, dua baju.

Saya tak sanggup mengerjakan baju yang satunya, yang sudah saya pesankan benang viscose dari Surabaya, di toko online langganan saya. Saya memilih mengembalikan. Bukan karena saya tak mampu, tapi saya tak sanggup. Saya bukan tukangnya, dan bukan tukang sayur langganannya. Saya tak pernah tawar-menawar dengan karya saya, karena semua saya pikir sudah saya beri harga secara sepadan.

Ketika blio menawarkan "ongkos", saya menolak dan hanya bilang, "Jika sempat, transfer saja ke rekening saya, ibu. Kapan sesempatnya ibu saja."

Sekian, dan terima orderan kasih :D






Mbak Rayem perempuan perkasa. Dia menjadi mitra sejajar Pendi, suaminya, yang berprofesi sebagai handyman. Dua belas tahun mereka mengarungi biduk rumah tangga berdua.

Mengapa dia perempuan perkasa? Tak perlu berkoar tentang emansipasi, dia pejuang emansipasi sejati. Saat suaminya banting tulang mencari uang untuk menafkahi keluarga, dia tak tinggal diam. Dia menjadi pekerja rumah tangga penuh waktu delapan jam sehari (di rumah saya, sodara) dan part time di sebuah keluarga lainnya.

Bersama suaminya, dia berbagi peran. Ketika pagi dia meninggalkan rumah sebelum sempat membuat sarapan pagi, maka suaminya yang akan menyiapkannya. Begitu juga malam hari ketika saya telat pulang dan dia terpaksa kerja lembur menunggui anak-anak saya. (Kerja lembur = kerja di luar jam dia seharusnya. Kompensasinya, saya harus memberinya uang lembur).

Seharian di rumah kemarin, saya menjadi bak wartawan infotainment yang menguntit aktivitas sang idola seharian. Berikut ini laporan saiyah untuk pemirsah semua:

Pukul 07.00

Membuka pintu depan dengan kunci cadangan, bergegas ke belakang. Pagi ini dia memasak bakwan, sayur labu dan ikan. "Kopi di luar, bu!" teriaknya. Secepat kilat dia sudah menghilang saat saya mengambil kopi racikannya yang rasanya bak kopi bikinan barista ternama. Kemana dia? Pergi ke rumah satunya, tempat dia kerja part time, untuk hanya mencuci dan menyetrika, serta beres-beres rumah.

Pukul 09.30

"Bu, cucian kotor tolong dikeluarkan," ujarnya dari balik pintu kamar. Saya, yang sedang asyik merekap pesanan dari olshop saya, kaget, karena tak mendengar kapan dia masuk rumah. Asal tahu saja (pamer?) pintu depan saya pasang miniatur lonceng pedati, sehingga saat pintu dibuka dan ditutup, gemerincing lonceng nyaring terdengar (kayak di warung-warung Amrik di film Hollywood tempo doeloe). "Masuk aja Mbak. Ayah udah berangkat kok," kata saya. Dia masuk, sambil menceritakan hal-hal yang terjadi kemarin: tentang suaminya, Harini, dan tentang tukang sayur yang dia duga salah pasang harga. "Mosok labu satu tiga rebu," ujarnya.

Pukul 11.00

Sudah menyelesaikan acara cuci-mencuci dan mengepel lantai. Juga membereskan rumah yang tadinya bak kapal pecah menjadi rapi jali. "Menyetrika besok aja, sekalian ya bu," ujarnya. Sebelum pamit pulang untuk menyambut anaknya pulang sekolah.

Saya memintanya nanti jam 13.00 bersiap-siap di depan rumah kontrakannya. "Mau kemana?" tanyanya.

"Kita jalan. Namanya refreshing. Biar pikiran terang," ujar saya sekenanya.

"Hayuk. Biar sariawan di lidah segunung, kalau acaranya jalan-jalan mah, hayuk bae," katanya bersemangat. Saya ikut bersemangat. Horee....ini yang namanya girls outing sodara!

Pukul 13.00

Hang out bersama Harini dan saya ke mal terdekat. Sekalian mengirim paket-paket pesanan. Yang ini saya ceritakan besok ya, asyik soalnya!


Pukul 17.00

"Astaga, Ibu! Ngamuk atau bagaimana? Kamar sudah diberesin berantakan lagi!" ujarnya. Saya nyengir saja. Kalap menyelesaikan pesanan yang harus kirim sore ini, membuat seluruh peralatan tempur turun main. Berantakan!

"Mbak dilarang masuk," giliran saya setengah teriak pula, sambil ngakak. Di luar Mbak Rayem masih ngomel-ceria (alias bukan ngomel betulan), "Ibu kerjanya cuma berantakin aja. Ngerjain saya nih, ibu."

Saya membereskan, sambil bilang, "Pokoknya hari ini aku beresin Mbak. Kalau besok masih ada yang berantakan, itu sengaja. Biar Mbak Rayem ada bahan ngomel besok." Haha...jailin doi.

Pukul 17.30

Berkemas pulang. "Cabut rumput belakang besok saja, akhir pekan," katanya. Aku mengiyakan saja. Akhir pekan, artinya dia akan mengerahkan para sohibnya yang mengontrak rumah petak milik orang yang sama. Setelah itu, biasanya mereka akan bersama-sama ke pasar kaget di dekat rumah, menghabiskan uang tips cabut rumput untuk "wisata kuliner" bersama.

Mbak Rayem, perempuan perkasa itu, sebenarnya adalah guru saya: dia mengajarkan saya untuk menjalani hidup apa adanya. Bahwa bahagia bisa diraih dengan cara-cara yang sederhana.


Di antara semua batik, mana yang Anda suka? Kalau saya, sogan. Klasik, antik. Tak lekang oleh waktu (lebay). Maksud saya, motif batik kontemporer boleh datang dan pergi, tapi sogan tetap abadi.

Motif parang yang paling saya suka. Parang rusak apalagi. Walau namanya "rusak", tapi wujudnya sungguh ciamik.Di foto di atas, nomor tiga dari atas (kiri) dan nomor dua dari atas (kanan).

Sogan bisa diadu dengan warna apa saja. Dia berteman akrab dengan hitam dan putih, juga coklat. Tapi saya juga pernah menabrakkannya dengan warna gonjreng, merah darah, dan membuat saya hari itu merasa menjadi wanita tercantik di seluruh jagat raya tanpa harus tanya sama mirror mirror on the wall. (Cuek wee sekali-kali sama bojo tercintah yang melotot-melotot karena benci warna merah. Huahahahahuahahaha *ngakak setan*).

Tapi kenapa jadi harus pamer sogan di sinih?!

Ini gara-gara menjelang tengah malam ada yang menanyakan koleksi sogan dan berniat membeli. Jadi saya foto. Daripada cuma dicemplungin ke fesbuk, ya cemplungin juga ke sini...*meringis keledai*

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Kangen ngulik benang untuk bikin non baju. Yang cepet, ya bikin inih :)

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Jawabannya, belum dulu he..he..

Ini jawaban untuk postingan saya yang ini. Ibu pemesan sudah menerima pesanan yang saya buat dengan pola tanpa teori. Blio bilang sih pas, enak dipakai. Bahkan memesan satu lagi dengan ukuran yang sama untuk model yang berbeda.

Belum dulu kursus, bukan berarti tak ingin kursus, ya. Tetap menyimpan ingin. Tapi mencari waktu yang pas. Mungkin, mengintip isi kantong juga, belum tahun ini. Decak-decak aja telepon beberapa tempat kursus, biayanya di atas Rp 6 juta.

Ini sih, sedikit catatan sebagai seorang otodidaker:

* Eksplor aneka sumber, teori dan taktik menjahit. Di era dot.com saat ini, kursus jahit gratis bertebaran di jagat maya.  Tentu saja, asal rajin browing dan mempraktikkannya. Percuma mengumpulkan banyak bahan ajar, tapi tak jua mempraktikkan.

* Jangan sungkan untuk bertanya pada senior. Saya kerap menimba ilmu secara tak langsung pada penjahit-penjahit di beberapa pasar di Jakarta dan penjahit langganan suami. Salah satunya: jangan pelit menggunakan setrika kalau ingin jahitan rapi. Jadi untuk sambungan belakang, misalnya, segera disetrika begitu disatukan. Lebih kelihatan rapi dan manis. juga pas kalau disambungkan dengan bagian depannya.

* Jangan segera buang baju yang aus tapi enak dipakai. Buka jahitannya, setrika, lalu jiplak di atas koran. Jadi deh, pola baju nyaman.

Foto diambil dari: FashionEra.com






Apakah menjahit itu bakat, atau keterampilan yang bisa dipelajari, atau diturunkan secara genetik (rada ngawur inih)?

 Semula, saya menduga diturunkan secara genetik. Berdasar wawancara singkat dengan ibu, mbah putri, dan cerita mbah putri tentang ibu dan nenek blio, mereka mengaku tak pernah belajar menjahit. Otodidak. Mbah memang pernah mendapat ilmu itu di Sekolah Kartini (Sekolah Keputrian), tapi jauh sebelum itu, blio sudah mahir membuat kutang sendiri begitu memasuki usia baligh. Saya dapat ilmu mengoreksi beberapa kesalahan jahit dari blio.

Namun, teori itu tumbang ketika Indah, adik saya tercinta, sangat lugu (bin culun) berhadapan dengan jarum dan benang. Jangankan membuat baju, men-soom baju anaknya yang kelimannya lepas saja yang keluar adalah jurus tusuk jelujur. Walhasil,  jadilah jejak mirip separator jalan nemplok di baju. Kalau sepersekian gen jahit diturunkan, tak usahlah bikin baju Cinderella, paling gak masang kancing pasti bisalah. Ini boro-boro.

Maka, teori kebisaan (?) menjahit adalah diturunkan secara genetik secara otomatis tumbang dengan fakta ini.

Kini, tinggal dua teori tentang jahit yang saya yakini benar: otodidak, dan keterampilan yang bisa dipelajari. Teman saya (tak usah sebut nama ya?) jebolan perguruan tinggi ternama dengan indeks prestasi mendekati cum-laude (malangnya: dia sekantor dengan saya yang lulus dengan nilai ala kadarnya!) tiba-tiba punya keinginan gila: kursus menjahit. Padahal, jangankan berkencan dengan mesin jahit, bahwa jarum mesin dan jarum tangan itu beda saja dia baru tahu belakangan di tempat kursusnya.

Dari yang paling dasar, kini dia sudah piawai bikin baju, celana, dan piyama untuk suaminya. Bahkan makin hari makin menggila: menguasai aneka ilmu pecah pola. Ck ck ck!

Saya sampai terkagum-kagum dan ngiler ingin ikut kursus pula. Selama ini, saya menguasai ilmu perjahitan (what?!) secara otodidak. Tepatnya sejak kelas 5 SD, saat ibu menghadiahi Siti Nurbaya. Pecah pola, dilakukan secara trial and error. (Jadi ingat: ilmu membuat kantong bobok didapat atas kerja sama dengan kakak lelaki saya yang jago matematika dan jago menjahit.  Kami merancang pola dan dia mengukur dengan ukuran yang teliti dan cermat dengan penggaris dan busur. "Beda 2 mili, beda hasilnya," sabdanya. Saya manggut-manggut saja, percaya).

Lalu kenapa tiba-tiba ingin kursus? Panjang ceritanya. Tepatnya sejak membuka lapak di Etsy dan lalu Facebook. Makin meruncing setelah seorang pelanggan baru yang 'berbobot' memesan baju ukuran XXXL.

Curcol dikit: saya tak tega menolak kesungguhannya memesan. Lebih dari itu, saya merasa terhormat blio berkenan memesan karya saya. Akhirnya saya sanggupi. Pola saya modifikasi sendiri tanpa ukuran pasti, hanya berpatokan pada lebar pundak, lingkar dada, pinggang, dan panggul yang dia berikan. Saya tak bisa membuat pola sesuai teori-teori yang diberikan di kursus jahit, jadi, saya buat dengan dasar pola ukuran saya, yang juga dibuat secara asal (tapi enak dipakai lho).

Jadi, besok adalah pertaruhannya. Kalau setelah baju terkirim dan dia cocok, artinya penjahit otodidak ini harus mikir ulang ikut kursus atau tidak. Tapi kalau ternyata blio tak puas dengan hasilnya, maka tak ada tawar-menawar: KUDU MENDAFTAR KURSUS SEGERA!!!!!!!!

 Menyulap ukuran L jadi XXXL


Kemarin ada yang mengirimkan email, menanggapi postingan saya tentang upaya penyelamatan ketiak saat terjadi salah pola crochet. Agak bingung ya?

Berikut pola nanas yang saya maksud (yang di-bold merah ya bu). Bagian bawah, dipasang di ujung bawah kerung lengan. jika di gambar ini rantainya untuk masing-masing lengkung tiga, saya membuatnya masing-masing empat rantai. Working, bu. Baju hasilnya tetap manis :)



Ukuran: M fit to XL
Panjang: 50 cm

Harga: IDR 250.ooo
Beminat? SMS/Whatsapp 083894533115


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Pertama, ini bukan tentang bau badan, meski sebagai pengidap, saya mahfum betul cara mengusirnya..... hehe.

Kedua, bagi Anda para crocheter, pasti sering menghadapinya (kecuali yang sudah sangat mahir terutama dalam mengira-ira pola).

Woi...kok jadi berteka-teki. (Berpayung bukan raja, bersisik bukannya ikan. Hahay...jawabannya: nanas!)

Ini lho, bu ibu, tentang membuat baju crochet, tiba-tiba harus kesandung: lengan yang sudah dibuat terlalu kecil dibanding kerung lengan yang akan dipasang. Biasanya, saya menyiasatinya dengan membuat pola pagar (double crochet, rantai, double crochet, dst). Tapi ketika 'jurang' terlalu menganga, cara ini sama sekali tak menolong. Bisa sih dipaksakan, tapi hasilnya baju jadi tak manis jatuhnya.

Bagaimana dengan mengulang pola dari awal dengan menambah dua motif kiri dan kanan? No! Saya tak akan turuti saran itu kali ini. Saya sudah cukup berdarah-darah (lebay!) membuatnya, untuk dua lengan model jala yang saya kerap salah itung karena polanya monoton.

Berpikir-berpikir-berpikir...pasti ada cara, iya kan Boot?! (tanya Dora pada sahabatnya, halah!) Maka ketemulah ini: mengaplikasikan pola nanas untuk mengatasinya. Anda tahu pola nanas dan cara membuatnya kan? Bentuknya lebar di bawah, meruncing ke atas. Pas untuk menambal 'jurang menganga' tadi.

Dan, begitulah, si nanas menjadi penyelamat ketiak crochet saya kali ini. Bentuknya tetap manis, dipakainya enak. Tak perlu bongkar benang untuk membuat baru.

*kipas2 sambil lap-lap keringat*
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Bagi yang suka bingungan kayak saya, mungkin yang ini bermanfaat. Dicomot dari laman Facebook-nya FASTdealSG . Monggo dipelajari, diresapi, diamalkan (apa coba?! emang penataran P4...he he)



Mengulik benang sama seksinya dengan mengulik kain. Suer. Penuh tantangan, dan kerap bikin penasaran. Belakangan, lagi seneng memadu-padankan lagi motif-motif yang berbeda dalam satu baju. Berhasil? Kadang iya, seringkali tidak..he..he..

Yang paling sering bermasalah, saat membuat kerung ketiak. Untuk yang satu ini, tak kunjung ketemu triknya. Tapi kali ini, lumayanlah. Gak jelek-jelek amat kan? Kalau yang berminat polanya, silakan kirim email ya. Nanti saya reply dengan pola dan motifnya.



 Nyesek banget rasanya, kalau sedang enak-enak merajut, tiba-tiba benang habis :(
Mana dikejar tenggat pula.

Ini yang terjadi pekan lalu. Order online, kagak juga ditanggepin pemilik situs. Akhir pekan lalu, dia janji Senin dikirim. Tapi bukannya benang yang nongol, melainkan pemberitahuan: benang jenis yang kuminta sudah tak diproduksi lagi. Hadeuh!

Maka memutuskan untuk hunting sendiri ke toko-toko benang di Jakarta. Setelah menyisir dua gerai Hoby Craft dan ternyata nihil hasilnya, maka satu-satunya lokasi adalah toko benang di daerah Kota Tua.

Maka di tengah rinai hujan, ber-busway ke Jakarta. Agak 'heroik' karena - tahu sendiri kan, Jakarta kalau hujan? - busway penuh sesak dan mobil pribadi masuk jalur. Macet ampun-ampun!

Tapi lega rasanya, ketika menemukan benang impian, meski harganya sudah berlipat dari tahun lalu. So, here i am....di pojokan ruang craft di belakang rumah sambil mbrenthel menyelesaikan pesanan. Sabar ya Mbak-mbak semua yang sudah jauh hari memesan :)


Pelajaran penting bagi saya untuk:

1. Jangan ragu beli banyak benang jika cocok, karena belum tentu nemu lagi di lain waktu
2. Jangan mengiyakan pesanan sebelum melihat stok benang *penting, catet*
3. Jangan belanja ke kota dengan menggunakan rok dan sepatu formal apalagi saat hujan kalau tak siap untuk 'sengsara'


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Facebook sudah terlalu hiruk pikuk. Bak kota metropolitan yang mulai congkak. Saatnya menepi. Dan kembali berumah di sini :)





TUNIK ENCIM DUA WARNA

 Panjang: 90 cm
lingkar dada: 102 cm
lebar bawah: 118 cm
panjang lengan: 50 cm

Harga: IDR 165 k


Berminat? Monggo silakan SMS atau whatsapp ke nomor 083894533115 
dengan kode baju: tunik encim dua warna


Ingan zaman jebod, bawa sak keresek jahitan ke pasar, tepatnya tukang obras. Tak selalu beruntung, karena hanya blio dan Tuhan yang tahu kapan harus buka atau tutup. Apes betul kalau jauh-jauh dituju - setara naik turun dua bukit - ternyata angin sedang bertiup ke arah yang beda: si bapak tak buka lapak. Gilirannya buka, antreannya ngalahin antrean minyak murah di warung sebelahnya.

Sabar...wuih, sakti betul kata itu. Sembari menunggu giliran, sembari cicip sana cicip sini. Paling sering, ngebakso (sama es cendol, kadang es campur, lalu milih2 jepitan, alat2 jahit...halah).

Ujung-ujungnya, biaya "sosial" nya lebih tinggi ketimbang ongkos obras lima baju yang kadang gak nyampai Rp 20 ribu.

Syukurlah, kini ada si Putih. Setelah mencoba aneka stich, ketemulah yang paling mirip dengan obras.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Di raudah
Hening
Air mata jatuh
Nyaring

Hanya ada kita
Bermuka-muka
mempercakapkan cinta
juga doa

Dalam dekat jangkaumu
aku terlucut rindu

Dalam senantiasa jejakmu
kusebut namamu
Ya Nabi, salam untukmu

Nabawi, April 2013
cintaku untukmu, istriku

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone











Bolero Nanas Hijau
IDR 175.000

SMS: 083894533115