twitter


Sebetulnya, ini proyek yang sudah direncanakan sejak lama: menjodohkan kaus yang sudah aus dengan rok yang sudah out of date (tapi mau dipindahtangankan sayang, karena agak "bersejarah"). Tujuan proyek ini satu: baju rumah yang nyaman buat Kakak.

Ya, bidadari kecil yang kini mulai bertumbuh ini sering membuat saya terkaget-kaget ketika pulang kerja: memakai daster bolong emaknya. Alasannya, "Daster ibu adem dipakainya." Ah, tahu saja dia, bahwa semakin aus daster, semakin enak dipakai. Kekekekek....(bakat "slodeg" menurun...xixixixixixi...).

Jadilah daster itu begini bentuknya:



Tadinya asalnya dari begini:


Kemudian dipotong kira-kira sepanjang 30 cm dari bahu:


Dan ini juga diperlakukan sama:


 Kemudian disatukan. Biar gampang (karena kaus jadi melar kalau dijahit, sebaiknya dijelujur dulu:


Saya menjahitnya dengan tangan, bukan mesin. Jadi saya stik balik dengan tusuk tikam jejak:


Jadilah baju rumah daur ulang itu dalam setengah jam.......


Karena kaus asal punya emaknya, maka pasti kegedean buat Kakak. Jadi diserut aja pakai benang wol yang ujungnya dihias dengan wol gulung yang diikat di tengah kemudian digunting ujung-ujungnya. Tapi Kakak malah keheranan: apaan sih ini bu? Wakakakakak!









Ini hal yang hilang selama lebih 13 tahun menjadi jurnalis koran: hidup normal dan punya banyak waktu mengatur anak-bojo-rumah-dapur. Jangan tertawa, karena saya memang tidak "ahli" di bidang yang saya sebut tadi.

Kini, setelah memulai hal baru, bekerja di media online, saya punya itu semua: waktu yang lebih fleksibel untuk memulai semuanya. Belum terlambat saya pikir.

Bahagia ketika pagi-pagi, kakak sudah teriak: "ifumie ibu enak, bikin lagi ya?" Selama ini, ifumie yang ada dalam benak anak saya hanya ada di solaria, bakmi japos, atau rumah makan oriental lainnya. Bukan di dapur rumahnya.

Owya, satu lagi, saya juga jadi punya banyak waktu untuk benah-benah. Benah-benah? Ini istilah kami, anak-anak keluarga Soetanto, untuk menyebut aktivitas membersihkan rumah. Dan, betul, itu spesialisasi -- tepatnya profesi -- ketika saya kecil dulu. Beda dengan kakak perempuanku yang bisa diandalkan di dapur, saya miskin papa dalam urusan goreng-tumis-bikin kue-bikin kari bahkan menanak nasi yang ecek-ecek sekalipun. Maka tugas saya adalah: menjadi kenek kakak di dapur, dan menjadi tukang benah-benah: membersihkan debu yang menempel di jendela-meja-lemari hingga kolong-kolong meja-kursi-dipan-lemari.

Kenapa tadi saya bilang benah-benah adalah profesi? Karena, ini dia, masing-masing anak ibu saya harus menyelesaikan kewajiban yang sudah menjadi job desk-nya masing-masing (baca: saya beres-beres termasuk menyapu halaman depan-kanan-kiri-belakang rumah, dan bayangkan luas pekarangannya 560 meter persegi dengan 10 pohon besar yang produktif menggugurkan daun kering :( ). Kalau lalai, maka segala hak-hak akan dicabut termasuk yang paling berharga: langganan majalah Bobo dan Si Kuncung.


Maka, akhir pekan lalu, aku kembali mengulang profesi puluhan tahun lalu, menjadi tukang benah-benah itu. Puas, ketika bojo melek, semua sudah rapi. Apa komentar dia? Ah, rahasia donggggg.......

Boleh ngintip kok, nih....*pamer*

*bebas debu*




  *agak tertata pada tempatnya*


*koleksi sabun sama kulit kerang dapat wadah baru*