twitter


Asli, ini posting norak jaya. Sama dengan kekonyolan teman-teman lantai penthouse di kantorku, tempat aku kadang menghabiskan separo malam.

Ceritanya, demam mal di Jakarta -- tiap jengkal kawasan di Jakarta kini berdiri mal, entah siapa yang mau berbelanja -- mampir juga di Kawasan Buncit Raya. Ndilalahnya lagi, pas di seberang kantorku. Di seberang itu ya benar-benar seberang, karena jalan Pejaten yang memisahkan tak seberapa lebar.

Dari awal mal itu hanya pondasi hingga kini berlantai lima, kami sama-sama jadi pengamat. Melihat pekerja bangunan dengan pengamanan minim, kami sama-sama miris. Melihat mereka berbagi makanan, nyaris berebut, membuat kami terharu berjamaah.

Tak terasa, kini mal berdiri megah dan besok beroperasi. Seminggu kemarin, kami merasakan perubahan, tepatnya revolusi, yang terjadi. Warung-warung makan yang semula sepi, menjadi hiruk-pikuk oleh para karyawan mal baru yang mulai sibuk menata lapaknya. Parkiran kantor juga makin semarak. Di kantin, banyak pemandangan baru.

Dan, ini dia. Para bapak di kantor yang semula anteng jaya (dengan kadar jaim hampir mendekati 95 persen) --terutama bila DL -- kini makin tampak aslinya he..he...
Tiap hari ada saja yang berteriak bila melihat "penampakan" di tetangga baru kami itu. "Bening...Bening...Bening..." atau "Kinclong...kinclong..."

Ini bukan tentang air lho ya, tapi para SPG dan pegawai baru yang penampilannya memang rata-rata atraktif.

Kadang-kadang, memang bening betulan, tapi seringkali, sekadar meledek saja. "Seksi..seksi..seksi....", ternyata yang terlihat adalah pekerja dengan kaus bolong sana sini, dan tampak serius menekuni pekerjaannya. Setengah manyun gitu.

"Hore...tank top merah..." Maka para bapak segera menoleh ke arah jendela. Yang terlihat kadang betul gadis bertank top merah, kadang beda lagi; seorang tukang dengan kaus merah berlogo partai tertentu yang sobek di sana sini.

Jadi Enci, kalau kamu pengen melihat teman-teman sumringah saat mengejar tenggat, mampirlah ke kantor lamamu. "Untung gua gak jadi resign," teriak si Bapak di front tengah temen kita (You know who lah...) He..he..


Foto diambil dari: www.k5.com




Perca kadang sakti juga. Kecil, tapi kerap mewarnai. Sedikit sentuhannya, kadang membuat penampilan tampak berbeda. Masa iya?

Ya sudah kalau gak percaya, tonton saja yang ini:
























Foto: Keanu Reeves muda, taken from: alllayedout.com

Internet menyatukan kami kembali. Dia di kotanya, menjadi seseorang. Aku di Jakarta, menjadi diriku saja. Eh, tepatnya, menjadi istri setia seorang jurnalis dan emak dua anak yang beranjak menuju teenager. Lalu tanpa disengaja, aku mengintip blognya -- tidak sengaja; karena ketika sedang browsing suatu terminologi, blog dia antara lain yang disajikan Paman Google untuk menjawabnya.

Semalam, entah bagaimana caranya, dia menemukanku. Dia bertamu ke MP dan meningggalkan puluhan, bahkan ratusan pesan. Aku kewalahan menghapus jejaknya. Ketika aku hapus satu pesan, muncul yang baru. Bermenit-menit jariku menari hanya di tiga tuts: ctr-alt-del. Tapi tak kunjung selesai. Aku kelelahan. Akhirnya aku memutuskan untuk men-shutdown komputer secepatnya, mencabut power modem yang masih menempel, dan menjauhkan diri dari radius komputer.

Apa isi pesannya? Dia mempertanyakan kenapa aku dulu meninggalkannya (ada rasa aneh, kok aku dituduh meninggalkannya? Bukankah dia yang meninggalkanku sehingga aku perlu berkotak-kotak tissue untuk melupakannya?) Lalu dia bersumpah serapah dan mengajak bertemu untuk menyelesaikan masalah. Masalah apa lagi yang belum selesai?

Aku tak meladeni. Itu masa lalu bangek ngek ngek, yang kronologinya pun aku sudah lupa. Tidak aku catat pula, karena aku tidak merasa perlu untuk mencatatnya. Tapi kalau tiba-tiba dia hadir dan mempertanyakan, menjadi sangat lucu dan menakutkan!

Tiba-tiba pintu depan diketuk. Ada suara dia memanggil-manggil. Aku makin menggigil. Aku mencari punggung suamiku untuk kupeluk, mencari damai dan rasa aman. Sesaat terdiam, aku memutuskan untuk menghadapinya, sendiri.

Aku bangkit. Tapi kepalaku terantuk meja konsol di pinggir dipan. Keras. Aku meringis kesakitan. Mataku kubuka lebar-lebar.

 THANKS  GOD... CUMA MIMPI !!!!!!!!


Belakangan, energi untuk menekuni craft raib entah kemana. Barangkali karena sibuk mengajar, atau hari-hari yang kini tanpa asisten di rumah, atau pekerjaan kantor yang tiba-tiba beat-nya meninggi. Menengok pojok craft, ada rasa bersalah. Perca di sana-sini tak terurus, alat-alat berserakan dimana-mana (jagoanku, Bru, andil besar dalam hal ini). Semalam, tiba-tiba ada rasa "ingin" yang demikian kuat. Setelah anak-anak terlelap, aku mengendap-endap ke ruang belakang; bebenah. Tiba-tiba mata tertuju ke perca yang aku potong bulat-bulat. Ya, bukankah sebulan lalu aku mulai mempelajari teknik fuxico? Fuxico adalah salah satu teknik "potong serut" perca untuk dibentuk menjadi -- mostly -- bentuk bunga dan dirangkai menjadi banyak bentuk dan karya. Konon, fuxico yang asalnya dari Brazil itu berasal dari kata "fuxicar" yang artinya adalah gossip. Kok? Ya. Sebagaimana quilting, di Brazil fuxico biasa dilakukan kaum ibu di perdesaan sambil duduk-duduk melingkar. Ibu-ibu ketemuan biasanya kan bergossip (huh...sebel dengan stereotip model begini....). Sama seperti quilting, fuxico juga dimainkan menjadi aneka craft: bedcover, penutup teko, taplak meja, hingga rompi dan baju pesta. Maka, malam ini aku membuat puluhan bunga perca. Mau dijadikan apa, dipikirkan kemudian. Yang penting bikin-bikin-bikin dan bikin. Sampai tak terasa mata mengatup dan bergegas tidur. Lupa pada acara bebenah!